Skip to main content

PEMIKIRAN MENURUT FILSAFAT ISLAM



Metafisika (Ketuhanan) atau Ontologi
Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang hidup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika)(Jujun 1986).
Filsafat metafisika Al-Kindi menulis dalam makalahnya, khususnya dalam makalah tentang filsafat pertama dan tentang ke-Esa-an Tuhan dan berakhirnya alam. Dalam makalah ini Al-Kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sejak awal & tidak akan pernah ada selama-lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah didahului wujud yang lain dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantarnya.
Menurut Al-Kindi filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud definisi ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu. Mematikan hawa nafus adalah jalan untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh  kenikmatan lahirah berarti meninggalkan penggunaan akal.
Menurut Ibu Sina filsafat itu terbagi dalam ilmu teoritis & ilmu praktis. Dalam ilmu teoritis adalah termasuk ilmu fisika, matematika & metafisika. Sedangkan yang termasuk ilmu praktis adalah etika, tata rumah tangga, politik. Ibnu Sina menepatkan studi ilmu jiwa dalam ilmu teoritis dan dimasukkan pada ilmu alam.
Louis O.Kattsoff (1987 : 192) membagi ontologi dalam tiga bagian : ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan kualitatif serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakannya mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan : apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan & perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau idealisme & materialisme (Hery, 17-18).
Ontologi keilmuan merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan. Penafsiran metafisika keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik.
Dalam membuktikan adanya allah, Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen sebagai berikut :
-    Argumen gerak (al-harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu maupun yang menyakini alam kadim. Pencipta yaitu Allah, yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada. Sementara itu bagi orang yang menyakini alam kadim-alam ini tidak didahului oleh tidak ada & selalu ada – gerak alam ini kadim, tidak berawal & tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti kata gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini menunjukkan secara pasti adanya penggerak (Allah). Dan bagi orang yang menyakini alam baharu, penggerak ini berfungsi mengubah alam & tidak ada (al-adam) & baharunya – belum pernah dikemukakan oleh filosof muslim manapun sebelumnya. Dengan argumen ini, Ibnu
Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.

-    Argumen materi (al-madat & bentuk (al-shurat) Argumen ini, menurut Ibnu Thufail, dapat membuktikan adanya allah, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun haditsnya. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika & masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat).
Pencipta (Allah) merupakan Illat (sebab) & alam merupakan ma’lul (akibat). Antara keduanya mempunyai perbedaan yang tajam dan tidak bisa disamakan dalam berbagai aspek, seperti Allah kekal & kaya, sedangkan alam berkesudahan & berkehendak. -    Argumen Al-Ghaiyyat & al-inayat al-Ilahiyyat. Argumen ini berdasarkan pada kenyataan bahwa segala yang ada dialam ini mempunyai tujuan tertentu.
Dalam hal zat & sifat Allah, Ibnu Thufail sejalan dengan pendapat mu’tazilah. Sifat-sifat Allah yang maha sempurna tidak berlainan dengan zatnya. Allah mengetahui & berkuasa bukan dengan sifat ilmu & kuadrat yang melekat pada zatnya tetapi dengan zatnya sendiri. Allah adalah pemeberi wujud pada semua makhluk.

Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, metode-metode & sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff 1987 : 76).
Epistemologi meliputi tata cara & sarana untuk mencapai pengetahuan. Secara garis besar terdapat dua aliran poko dalam epistemologi yaitu : rasionalisme & empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya : rasionalisme kritis (kritisisme), (fenomenalisme), intuisionisme, postivisme.
Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan & pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal ma’rifat dilakukan dengan dua cara : pemikiran atau renungan seperti yang dilakukan para filosof muslim & kasyf ruhani (tasawuf), seperti yang dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar & infuisi membentuk esensi epistemologi Ibnu Thufail.
Menurut Mu’tazilah, pengetahuan ada dua macam, pengetahuan inderawi & pengetahuan rasional. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan perantara pancaindera & pengetahuan rasional dicapai dengan akal. Mu’tazilah mengambil alih pendapat Aristoteles tentang sensasi (ihsas). Pancaindera hanya dipandang sebagai alat untuk memperoleh rasa bagi jiwa. Pancaindera tidak mengetahui sesuatu tetapi menerima bekas dari benda-benda inderawi. Bekas yang diterimanya tidak menjadi pengetahuan, kecuali dengan perantaraan akal.
Pengetahuan rasional diperoleh dengan jalan akal, yang oleh Abu Al-Hudzail dan sebagainya sebagai potensi untuk memperoleh pengetahuan. Fungsi akal ialah mentajrid (abstraksasi) kebenaran-kebenaran spiritual & hal-hal inderawi & mengetahui hubungan satu sama lain. Selain itu juga dapat memberikan petunjuk kepada manusia mengenai perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan.
Al-Kindi menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu: pengetahuan indrawi, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional dan pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut isyragi atau iluminatif.

-    Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tengang waktu & tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), diterukan ketempat penampungannya yang disebut Hafizhah (                     ) pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap karena objek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi berubah setiap saat, bergerak, berlebih, berkurang kuantitasnya & berubah-ubah pula kualitasnya.

-    Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial & bersifat immaterial. Objek pengetahuan rasional bukan individu tetapi genus & spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna yang semua ini menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berpikir (rational animal = hayawan nathig), telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang terlukis dalam perasaan.

-    Pengetahuan Isyragi
Al-kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Al-kindi, sebagaimana halnya banyak filosof isyaragi, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyragi (iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Illahi. Puncak dari jalan ini ialah diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia.

Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil & kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam parksis.
Dalam pendekatan oksilogi, Al-kindi mengemukakan bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan & dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat & martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh & disusun dipergunakan secara komunal & universal. Komunal berarti, bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuahannya sesuai dengan komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial, seperti : ras, ideologi atau agama.
Mengenai aksiologi menurut Ibnu Sina dapat melalui tiga cara :
-           Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku & keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman mereka.
-           Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang & waktu.
-           Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis & dapat diketahui melalui akal, pendirian ini dinamakan objektivisme logis.
-           Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Hanifah, Rintisan Filsafat, Jakarta, 1950
Abduh, Muhammad, Tafsir Al-Manar, Beirut, tanpa tahun
Al-Farabi, Al-Madinatul Fadilah, Maktabah Tijariyah, Kairo, 1970
Al-Gazali, Maqashidul Falasifah, Dar Ma’arif, Kairo, 1961 -, Tahafut Al-Fakasifah, Dar Ma’arif, Kairo, 1955.
Atjeh Abubakar, Sejarah Filsafat Islam, Semarang, 1970
Alisyahbana Takdir, St., Pembimbing ke Filsafat Metafisika, Jakarta, 1957
Ahmadi Abu, Drs., Filsafat Islam, Toha Putra, Semarang, 1982
Bakri Hasbullah, H., Sistematika Filsafat, Solo, 1961
Diryarkard, S.J.M., Percikan Filsafat, Jakarta, 1962
Fuad Al-Ahwani, Dr., Al-Falsafatul Islamiyah, Dar Qalam, Kairo, tanpa tahun.
Galzaba Sidi, Dr., Sistematika Filsafat, Jakarta, 1976
Harun Nasution, Falsafat Agama, Jakarta, 1973
Hasan Shadali, Ensiklopedia Indonesia, Jilid II, Jakarta, 1980
Hasbi As-Shiddiqi, T.., Dr., Prof., Filsafah Hukum Islam Jakarta, 1975
Hanafi A., Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
Hatta Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, 1980
Ibnu Rusyd, Fashl Al- Mawal fi ma Baina Al-Hikmati wal SyariahMin Al-Itteshal, Edisi
Muhammad Imarah, Dar Ma’arif,Kairo, 1969
Ibrahim Madkur, Dr., Filsafat Islam Metoda dan Penerapan, Terjemahan Wahyudi dkk., Jakarta,
1988
Iqbal, Dr., Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Terjemahan O Balibi, Jakarta, 1983
Oemar Amin Husin, Filsafat Islam, Jakarta, 1961
Rasyidi, H.M., Filsafat Agama, Jakarta, 1970
Soemadi Soerjabrata, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, 1970
Tsabit Al-Fandi, Muhammad, Dr., Min Falsafati Al-Din Huda Al-Ghazali, Fi Abu Hamid, Al
Ghazali, Kairo, 1961

Comments