Maksud tulisan ini bukan untuk membandingkan premanisme ala Indonesia dengan mafia asal Jepang yang dikenal dengan nama “Yakuza”. Karena sangat jelas dari keduanya adalah hal yang sangat berbeda. Namun ada beberapa hal lain yang bisa dijadikan cerminan dan bahan renungan yang sangat menarik dari dua sisi dunia hitam ini. Preman yang penuh penderitaan dan Yakuza pada sisi sosial dan loyalitasnya.
Kita semua tahu dengan artian kata preman di Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang berkecimpung pada dunia negative yang menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma masyarakat dalam mendapatkan keuntungan baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Namun terkadang kita tidak mampu membedakan asumsi preman dengan gembel, gelandangan atau dengan kelompok kejahatan lain yang sifat dan karakteristiknya hampir sama. Di Indonesia sendiri ungkapan premanisme adalah sebuah kata bagi siapa saja dan kelompok apa saja yang dengan sengaja meresahkan kenyamanan masyarakat lain baik dalam bentuk pemerasan, perampokan, pencurian dll. Karena asumsi yang muncul pada benak masyarakat menyatakan bahwa semua hal negativ tersebut merupakan aktifitas yang berbau preman. Namun ungkapan tersebut ternyata tidak mampu membedakan antara modus atau kelas kejahatan satu dengan lainnya. Kita ketahui bahwa terkadang anak remaja yang tergabung dalam komunitas Punk pun disandingkan dengan preman yang mengganggu ketertiban umum.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah melakukan berbagai usaha untuk mengurangi gerak aktifitas premanisme ini. Kesulitan lain ternyata datang dari bagaimana membedakan antara preman dengan yang bukan preman, karena faktanya beberapa asumsi itu tersudut pada bagaimana masyarakat menyatakan aktifitas yang bersifat premanisme dengan yang bukan. Sehingga kata preman ini penuh dengan penderitaan karena didalamnya terkandung beberapa orang pengamen, gelandangan, pengemis, anak remaja yang tergabung dalam komunitas punk dan beberapa pedagang kaki lima yang semuanya tergabung pada satu mobil truk yang sama saat di adakannya razia oleh Satpol PP.
Dunia premanisme seakan mengalami kekacauan, mereka tidak mampu menunjukan dirinya pada eksistensi yang lebih terhormat. Karena dunia kejahatan sesungguhnya berada pada tatanan lebih tinggi yang sulit untuk disentuh. Premanisme menjadi sebuah keresahan masyarakat kecil dan menggelitik pada isu-isu yang semakin terkotak-kotak. Berita pemerkosaan di angkutan kota, pembunuhan berantai di jalanan, hingga pencabulan-pencabulan anak di bawah umur menjadi PR bagi petugas kemanan yang buta akan ancaman keamanan sesungguhnya.
Kita rehat sejenak dan membaca sedikit artikel mengenai “Yakuza”. Semua orang di negara jepang mengetahui mengenai keberadaan kelompok ini. Berbagai pihak baik polisi maupun politisi dan pemerintah Jepang mengetahui eksistensi “Yakuza”. Kelompok ini bukan merupakan kelompok rahasia yang bekerja secara-sembunyi-sembunyi, namun kelompok ini merupakan paradoks yang muncul secara gamblang dan sangat disadari kehadirannya oleh setiap orang di Jepang.
Lalu apa sebenarnya Yakuza tersebut? Yakuza merupakan kelompok orang yang bekerja atau mendapatkan keuntungan dari berbagai hal yang tidak wajar. Yakuza sangat akrab dengan dunia pemerasan, Judi, prostitusi, peredaran obat bius dan berbagai kegiatan yang dirasa meresahkan kenyamanan masyarakat. Namun fakta lain menyatakan bahwa ada pekerjaan lain yang mampu mereka kerjaan selain dari hal-hal diatas.
“Yakuza” ternyata juga dikenal sebagai orang-orang yang mampu mengerjakan pekerjaan yang tidak mampu orang lain lakukan. Misalkan saja menjadi jasa buruh dan penyelidik swasta. Namun hal yang paling luar biasa adalah saat terjadi gempa bumi pada bulan maret 2011 ternyata Yakuza terlibat sangat besar dalam membantu korban bencana tersebut. Terlebih saat kelompok “Yakuza” tersebut rela mempertaruhkan nyawa mereka dalam menangani krisis nuklir Jepang sebagai akibat dari bencana tersebut.
Fakta yang sangat mencengangkan lagi bahwa pekerja yang bertugas di lokasi krisis nuklir Fukushima berani dengan bayaran 50 ribu yen atau setara dengan 5 juta rupiah per hari. Diketahui ada sekitar 1000 orang kelompok Yauza yang terlibat menangani krisis nuklir Fukushima tersebut. Mereka beresiko terekspos radiasi nuklir yang mengerikan. Tidak akan ada orang lain yang berani mengambil resiko seperti itu demi 50 ribu yen sebagai imbalan.
Dari fakta tersebut mungkin menggetarkan beberapa apresiatif untuk keberanian para Yakuza dalam mengahadapi resiko yang sangat mendebarkan itu. Tanpa kehadiran mereka mungkin krisis nuklir Jepang akan sulit untuk dapat ditangani. Berkat jasa merekalah krisis yang menjadi banyak kehawatiran orang-orang di seluruh dunia kian mereda. Dan tidak kita sadari ternyata bantuan datang dari orang-orang yang kita anggap sebagai sampah masyarakat atau samapah sosial yang dengan sangat jelas pemerintah Jepang sendiri terang-terangan memerangi mereka.
Jika kita lihat kembali apa yang dituliskan diatas maka ada dua sisi perbedaan yang mampu kita simak baik-baik. Pertama adalah para Preman yang seakan kehilangan keteraturannya dalam menghiasi kesedihannya dan penderitaan yang entah kapan akan berakhir. Mereka terus berkecimpung pada kondisi ekonomi negara sebagai imbas keberadaan mereka yang tak kunjung membaik. Sedangkan “Yakuza” menyatakan diri pada sesuatu hal yang sangat sederhana. Para Yakuza menyatakan keberadaan dirinya dengan kehormatan yang belum tentu dimiliki siapapun. Mereka melakukan tindakan yang tidak orang lain lakukan. Itulah sebabnya mereka menjadi kunci sederhana atau menyimak bagaimana mereka mendapatkan kehormatan sehingga masuk dalam kategori tatanan tertinggi di Jepang.
Premanisme tidak mampu keluar dari sisi buruknya yang selalu diperbudak oleh materi dan rasa malas. Mereka seakan terpuruk dan semakin tersisihkan oleh tatanan yang lebih tinggi diatasnya. Hingga terkadang kita ketahui bahwa kejahatan di Indonesia lebih dominan berasal dari senjata yang kita buat sendiri (Aparat, pemerintah dan petugas masyarakat sendiri). Namun bedanya mereka bergerak secara sembunyi, terhalang oleh rasa malu untuk dimusuhi dan tak mampu melakukan setitik kejujuran demi kebaikan mereka sendiri.
Jika sehari saja mereka mampu beristirahat melepaskan peranan sebagai tokoh si jahat maka ceritanya akan berbeda. Akan banyak kehormatan dalam hinaan yang tidak orang-orang sekalipun tahu mengenai kenyataannya. Tidak akan ada orang miskin mengemis karena ketidakmampuannya dan tidak akan ada kejahatanan memalukan yang tidak semestinya.
you're truly a excellent webmaster. The web site loading velocity is amazing. It seems that you are doing any distinctive trick. Also, The contents are masterwork. you've performed a excellent activity in this subject!
ReplyDeleteMy page > computer backup